Kehidupan modern yang saat ini kita jalani telah membawa perubahan norma dan nilai pada masyarakat. Privasi saat ini hanyalah sebatas tulisan elektronik yang dienkripsi dengan bantuan password yang dapat dikontrol kepada siapa saja privasi tersebut dapat dibagikan. Hal ini telah membawa perubahan cara pandang masyarakat saat re-generasi terjadi didalam suatu kelompok (digantikan oleh yang lebih muda). Salah satu bentuk perubahan tersebut dapat kita lihat pada batas wajar perzinahan yang dilakukan oleh mayoritas pemuda dan pembiaran yang terus berlanjut oleh pihak terkait (seperti orang tua maupun masyarakat sekitarnya).
Perzinahan dalam kacamata agama mencakup hubungan seksual antara pria dan wanita yang secara hukum maupun agama belum dinyatakan sebagai sepasang suami-istri yang sah. Makna hubungan seksual bukan hanya dalam konteks hubungan intim, melainkan secara luas yakni aktifitas apapun yang melibatkan produksi hormon seks berlebih. Dalam istilah modern, salah satu bentuk aktifitas yang mencakup perzinahan dalam konteks diatas dikenal dengan kata pacaran. Tentu dibenak pembaca istilah ini tidak lagi dianggap sebagai hal tabu yang membuat kita risih.
Fenomena pacaran tentu sudah tidak asing ditengah masyarakat. Beragam aktifitas dilakukan oleh pasangan yang mungkin saja belumlah sah secara hukum dan agama. Aktifitas ini dianggap hal biasa dengan adanya propaganda sinetron, video bebas, hingga postingan-postingan yang cenderung mendukung dan membiarkan aktifitas ini.
Pacaran secara terbuka menjadi hal yang dipandang lucu bagi sebagian besar orang, terlebih saat mereka (yang telah sah) kemudian terbawa (flashback) perasaan dengan hal indah yang telah dilalui ataupun yang tidak sempat ia rasakan. Pacaran pada dasarnya merupakan aktifitas seksual yang melibatkan kinerja hormon tertentu (hormon seks), membuat seakan-akan segala sesuatu menjadi indah dengan adanya lonjakan hormon kesenangan seperti oksitosin dan endorfin.
Banyak yang berdalih bahwa istilah ‘pacaran’ saat ini merupakan hal yang biasa dan bukan merupakan ancaman, bahkan fenomena gonta-ganti pacar terkadang dianggap biasa saja. Pengaruh pubertas, belajar istilah cinta dan segudang alasan pembenaran lainnya kerap kali digunakan dalam ‘kampanye’ pacaran sebagai hal yang biasa. Namun, fenomena seksualitas ini tidak hanya dapat dipandang sebatas kajian molekuler, melainkan juga mengikat kepada tinjauan psikologis-antropologis.
Pandangan psikologis-antropologis terkait fenomena seksual pacaran dalam artikel ini akan ditinjau dari sisi nilai dan norma yang sejatinya berlaku bagi hal tersebut saat dilakukan secara terbuka. Tulisan ini bersifat ilmiah yang didasarkan pada saduran penulis terhadap beberapa artikel ilmiah yang berfokus pada bahasan perilaku seksual baik manusia maupun binatang mamalia, karena mamalia memiliki kekerabatan yang amat dekat dengan manusia secara fisiologis dan dapat dijadikan sebagai role model dalam menjelaskan perilaku spesifik yang berlaku secara dasar tanpa adanya intervensi teknologi tertentu yang memengaruhi hormonalnya sebagaimana perilaku manusia dapat berubah karena hal tersebut.
HEWAN PACARAN JUGA YA?
Dalam dunia kehewanan sebenarnya tidak dikenal istiah pacaran. Namun, perilaku serupa dikenal dengan istilah mating atau mencari pasangan. Hewan pasti berbeda dengan manusia (akal) dimana hewan tidak terikat dengan aturan nilai dan norma sebagaimana manusia, tetapi terikat kepada aturan kelompok hewan tersebut yang nantinya juga akan memengaruhi psikologi interaksi antar hewan.
Sebagai contoh awal yakni spesies langur (Presbytis entellus) yang memiliki perilaku sosial yang sama dengan manusia pada umumnya (berkelompok) memiliki perilaku unik dalam menjalani aktifitas seksualnya. Terdapat dua pola berbeda dari seekor pejantan yang akan mencari pasangannya untuk melanjutkan keturunan.
Pola pertama yakni dengan pendekatan kekuasaan seekor pejantan dalam suatu kawanan langur yang akan melibatkan perkelahian antar pejantan dalam memperebutkan betinanya. Pola kedua yakni dengan ketertarikan morfologis-fisiologis (seperti tampilan fisik dan feromon tertentu) langur betina terhadap pejantan tertentu yang kemudian akan memilih sendiri pejantan yang diinginkannya.
Perilaku seksual langur, pada akhirnya akan membawa pada kondisi penyembunyian aktifitas seksual. Pejantan yang kalah tanding akan cenderung lebih agresif melindungi betinanya. Betina yang telah memilih pasangannya kemudian akan cenderung lebih tertutup dengan kawanan lain yang kemudian akan melakukan aktifitas seksual secara private.
PERILAKU SEKSUAL HEWAN DAN MANUSIA
Dalam pandangan fisiologis terkhusus pada mamalia primata, perilaku seksual ditandai dengan peristiwa ovulasi atau periode tersebut dikenal dengan istilah estrus (yang dimaksud adalah perilaku seksual yang meningkat. Estrus hanya terjadi pada mamalia non-primata, sedangkan primata sebagaimana contoh yang dituliskan pada artikel ini mengalami siklus menstruasi). Beberapa penelitian terkait perilaku tersebut telah pada beberapa hewan seperti gorilla, simpanse dan monyet serta manusia (sebagai primata dalam lingkup biologi). Perbedaan mencolok antara empat primata tersebut adalah fenomena fisiologis yang nampak.
Gorilla cenderung tidak menampakkan periode estrusnya (lihat catatan diatas) dengan mengeluarkan cairan lendir sebagaimana simpanse dan monyet, melainkan dengan menampakkan perilaku yang terus mendekati pejantan (memohon). Sedangkan, manusia yang dikenal menempati puncak primata (hewan berakal) menunjukkan perilaku yang berbeda dari ketiga contoh primata yang telah dibahas sebelumnya. Saat estrus, manusia cenderung tidak menampakkan dengan nyata perilaku fisiologis tertentu maupun gestur psikis yang mencolok. Adapun secara fisiologis, wanita yang menampakkan perilaku selayaknya sedang estrus diyakini memiliki kadar hormon yang diatas rata-rata (hypersexuality).
Sebuah poin penting yang dapat kita ambil sebagai pelajaran nilai dan norma bahwa manusia sebagai puncak hewan (hewan berakal) memiliki ciri khusus cenderung menjaga privasi seksualnya, berbeda dengan hewan sekelasnya (taksonomis). Sejatinya, ciri alamiah ini dapat kita rujuk menjadi sebuah nilai dan norma dasar bahwa privasi dalam konteks seksualitas merupakan hal alamiah yang terbawa pada manusia sedari lahir.
PERILAKU SEKSUAL SECARA MULTIKULTURAL
Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan, masyarakat dari budaya yang berbeda telah dilaporkan melakukan tindakan pencegahan untuk menyembunyikan hubungan seksual (menjaga privasi) dari persepsi sensorik orang lain (terlepas dari keragaman budaya luar biasa yang telah berkembang dalam kehidupan manusia modern seperti saat ini).
Secara bioantropologis, perilaku seksual sering disandingkan dengan perilaku ‘memalukan’ lainnya seperti buang air kecil atau besar. Perilaku ini timbul akibat adanya perasaan ‘mencekam’ atau ‘tertekan dalam zona berbahaya’ sehingga secara alamiah membuat manusia cenderung menghindar dan mencari kesunyian atau tempat yang sepi.
Dapat kita ketahui bahwa sebagai bawaan dasar perilaku manusia yakni menginginkan privasi jika menjalani aktifitas seksual. Nah gimana dengan pacarana dimuka umum? Dilihat orang-orang? Sekalipun demikian, mimin tidak mengajak agar pacarana dilakukan secara tertutup :D.
Tentu saja kawan pembaca belum percaya dengan data bahasan diatas. Berikut ini mimin kutip data survey dari berbagai negara bagian diberbagai benua.
Benua Afrika dengan penduduk kultur Mongo dan Nupe, Asia dengan kultur Abkhazians dan Semang, Eropa dengan kultur Muslim Bosnia dan Kroasia, Amerika Utara dengan kultur Ingalik dan Iroquois, Oseania dengan kultur Trobian dan Hawai, Amerika Selatan denga kultur Sirono, Kanela, Goajiro Modern, seluruhnya menganggap aktifitas seksual merupakan aktifitas privat yang harus dilakukan tanpa adanya intervensi orang lain bahkan keluarga sendiri. Satu kultur atau suku berbeda yakni Goajiro tradisional yang menganggap biasa aktifitas tersebut bahkan didepan anaknya.
Literatur etnografi dan zoologi yang ditinjau di sini memberikan dua kesimpulan yang konstruktif. Pertama, bahwa perilaku seksual tertutup yang sah adalah preferensi manusia yang tersebar luas pada berbagai kultural didunia ini. Hal ini penting karena ‘perkawinan’ tersembunyi mungkin merupakan fenomena yang diabaikan untuk dikaji dalam berbagai spesies. Kedua, bahwa sejatinya perilaku menyembunyikan ketertarikan seksual merupakan wujud dari perilaku seksual yang ‘maju’ bila dibandingkan dengan hewan yang berada pada tingkat taksonomi lebih rendah (mamalia menempati posisi puncak dengan kompleksitas perkembangan neuralnya).
Jadi, inget ya guys.... Pacaran didepan umum jangan dipandang hal biasa, bahkan hal tersebut menyalahi fitrah alamiah manusia dan kemudian akan condong kepada perilaku seksual bebas sebagaimana hewan lain yang tidak dibahas dalam artikel ini (sapi, kambing, kucing, anjing dan sebagainya).
Sumber Rujukan:
The biological significance of blushing and shameSexual Selection, Paternal Care, and Concealed Ovulation in Humans
10.1016/j.jhevol.2012.09.004
10.1098/rspb.2020.1330
Research Gate: 10829103