Neurotransmitter juga dapat
disebut sebagai pembawa pesan kimiawi tubuh. Neurotransmitter merupakan molekul
yang digunakan oleh sistem saraf (neuron) untuk mengirimkan pesan antara neuron
atau dari neuron ke otot maupun bagian lainnya didalam tubuh manusia.
Komunikasi antara dua neuron terjadi pada celah sinaptik (celah kecil antara
sinaps neuron). Pada sinaps, sinyal ‘elektrik’ yang telah melakukan perjalanan
sepanjang akson secara singkat diubah menjadi sinyal kimia melalui pelepasan
neurotransmiter, menyebabkan respons spesifik pada neuron yang menerima
neurotransmitter tersebut. Neurotransmitter memengaruhi neuron dalam satu dari
tiga cara: merangsang secara spesifik (excitatory), penghambatan (inhibitory),
atau dengan memodulasi (modulatory).
Secara rangsangan spesifik
(excitatory), neurotransmitter mempromosikan pembentukan sinyal listrik yang disebut
potensial aksi di neuron penerima, sementara inhibitor merupakan molekul yang
akan mencegah mekanisme ini. Neurotransmitter dapat bersifat merangsang atau menghambat
tergantung pada reseptor yang diikatnya. Neuromodulator (kinerja dengan memodulasi)
sedikit berbeda, karena molekul ini tidak terbatas pada celah sinaptik antara
dua neuron dan karenanya dapat mempengaruhi sejumlah besar neuron sekaligus.
Oleh karena itu, neuromodulator bekerja lebih lambat dari pada sifat neurotransmitter
lainnya.
Sebagian besar neurotransmiter
adalah molekul amina, asam amino, atau neuropeptida. Ada sekitar 12 jenis
molekul neurotransmiter yang diketahui dan lebih dari 100 neuropeptida yang
berbeda dan ahli saraf masih menemukan lebih banyak tentang molekul pembawa
pesan kimia ini. Molekul kimia ini berperan pada titik aksi yang tersebar
diseluruh tubuh dan membantu kontrol fungsi-fungsi tubuh.
Terdapat beberapa kriteria bagi
suatu molekul agar dapat dikategorikan menjadi sebuah neurotransmitter, yaitu:
- Molekul tersebut haruslah disintesis didalam neuron (sel saraf) yang kemudian dikeluarkan. Enzim dan substrat untuk sintesis molekul tersebut harus ditemukan didalam neuron.
- Molekul tersebut harus ada di neuron yang dimana molekul tersebut disintesis dilepaskan didalamnya. Terdapat mekanisme khusus dalam penyimpanan molekul neurotransmitter didalam neuron.
- Pelepasan sinyal neurotransmitter nampaknya bergantung pada pelepasan ion kalsium. Pelepasan tersebut harus dapat dibuktikan terjadi setelah stimulasi fisiologis dari jalur neuronal tertentu.
- Sebuah neurotransmitter sintetik yang diaplikasikan secara eksogen harus memilikin aksi sebagaimana transmitter yang alamiah (atau yang masih dalam proses identifikasi) terhadap sebuah stimulasi fisiologis maupun elektrik. Molekul tersebut harus menunjukkan reaksi identik dengan molekul alamiah sehubungan potensiasi (diinduksi) oleh inhibitor enzim, antagonis dengan rangsangan fisiologis maupun molekul kompetitif dan fenomena elektrik seperti pembalikan potensi (potensi yang dikembalikan pada titik semulanya) pada jaringan postsinapsis.
- Haruslah terdapat mekanisme terminasi yang cepat terhadap aksi yang dari sebuah neurotransmitter. Neurotransmitter eksogen harus terinaktivasi dengan mekanisme yang sama dengan neurotransmitter alamiah.
Terdapat mekanisme transport aktif
pada membran sel yang membawa precursor kedalam saraf dari ruang ekstraseluler.
Beberapa contoh precursor neurotransmitter seperti tirosin, triptofan dan
kolin. Terkadang, prekursor neurotransmitter disintesis pada akson kemudian
dipecah menjadi molekul lebih kecil dan dilepaskan atau diangkut menuju
terminal neuron (dekat sinaps) untuk kemudian menjadi bahan sintesis
neurotransmitter. Penyimpanan neurotransmitter umumnya pada vesikula khusus. Namun,
pada beberapa molekul disimpan dalam molekul kompleks seperti enzim, protein struktural
dan ion logam.
Secara seluler, beberapa molekul
tertentu seperti obat bekerja dengan menghambat mekanisme persinyalan neuron. Terdapat
dua titik penting dalam memengaruhi sistem tubuh dengan molekul obat yaitu pada
bagian pelepasan neurotransmitter dan reseptornya. Terdapat tiga mekanisme obat
dalam memengaruhi sisi pelepasan neurotransmitter:
- Penghancuran penyimpan neurotransmitter, sehingga tidak ada reseptor yang aktif.
- Obat yang melepaskan transmitter menuju celah sinaptik akan memicu stimulasi pada reseptor. Mekanisme ini disebut stimulant reseptor tidak langsung. Pelepasan transmitter yang diinduksi oleh obat-obatan tertentu bergantung pada ion kalsium.
- Obat tersebut menstabilkan membran presinaptik (seperti bius lokal) atau dengan menghalangi masuknya ion kalsium.
Beberapa mekanisme penghambatan
pada reseptor seperti antagonism kompetitif, terjadi apabila molekul yang menghambat
agonis (molekul yang mampu menginisiasi respon reseptor) secara parsial yang
apabila molekul agonis lebih banyak akan menghambat kinerja molekul antagonis
kompetitif. Kemudian terdapat antagonisme fisiologis dimana sebuah molekul
bekerja pada reseptor berbeda yang menyebabkan reaksi berkebalikan dengan
molekul alamiah pada suatu reseptor, sebagai contoh noradrenalin (norepinefrin)
terhadap asetilkolin.
Obat-obatan tertentu bekerja tergantung
kepada potensi, afinitas dan efikasinya. Potensi obat dimaksudkan yaitu dosis
atau konsentrasi standar untuk menginisiasi suatu respon. Afinitas merupakan
nilai kemudahan secara kimiawis dimana obat mampu berikatan pada titik maupun
molekul tertentu. Efikasi atau aktifitas intrinsic merujuk kepada kemampuan molekul
obat tersebut dalam menginisiasi respon.
Terdapat beberapa
neurotransmitter utama didalam tubuh yang dibagi berdasarkan identitas awal
molekulnya, seperti:
- Asam amino: glutamat, aspartat, D-serin, asam γ-aminobutirat (GABA), glisin.
- Gasotransmitters (gas endogen): nitrit oksida (NO), karbon monoksida (CO), hidrogen sulfida (H2S)
- Mono amina: dopamin, norepinefrine (noradrenaline), epinefrin (adrenalin), histamin, serotonin
- Amino kecil: fenetilamina, N-methylphenethylamine, tiramina, 3-iodothyronamine, octopamina, tryptamine, dll.
- Peptida: somatostatin, kokain dan amfetamine, peptide opioid (molekul diotak biasanya sebagai antinyeri)
- Purin: adenosine trifosfat (ATP), adenosin
- Lainnya: Asetilkolin (ACh), anandamida, dll
Sumber Rujukan:
ISBN 978-94-011-3134-6
10.1039/C3CS60477B
10.1146/annurev.bi.48.070179.00354
10.11648/j.ajpn.20160406.12