Peningkatan Selektifitas Rapid Test dengan Memanfaatkan Indera Pembau Anjing | Mengenal Apa Itu Rapid Test


Inovasi Rapid Test

SARS CoV-2 atau novel coronavirus telah menarik fokus dunia sejak akhir tahun 2019 hingga awal tahun 2020 dan masih berlanjut hingga saat ini. Virus ini diyakini berasal dari hewan kelelawar yang sebelumnya telah bermutasi dan berpindah menginfeksi manusia dengan daya penetrasi yang relatif lebih tinggi dari pendahulunya yakni SARS CoV (R0CoV-2 1,4-2,5; R0CoV 0,4) . Mutasi genom virus ini memungkinkannya untuk melakukan penetrasi melalui reseptor ACE2 (Angiotensin Converting Enzyme 2) sama dengan pendahulunya dengan menggunakan nukleokapsid yang berbeda (memiliki kesamaan sebesar 90% dengan SARS CoV) yang diyakini mampu menghalangi interferensi respon imunitas seseorang sehingga menyebabkan masih banyaknya tanda tanya bagi para ahli dalam menyelesaikan kasus ini.

Berbagai cara telah dilakukan baik tindakan preventif hingga pengobatan telah dilakukan oleh pemerintah. Tindakan preventif dinilai lebih mudah dalam menekan penyebaran pandemi ini. Beberapa tindakan tersebut seperti rapid test dan uji RTqPCR. Masing-masing uji memiliki kelebihan dan kelemahannya, rapid test dinilai mudah dan murah namun memiliki efektifitas yang rendah. Sedangkan, RT-qPCR merupakan uji klinis yang terbukti akurat namun memakan waktu dan biaya yang besar.

Saat ini pemerintah terus memperbaiki regulasi tindakan preventif yang utamanya berpijak pada rapid test. Namun, walaupun dengan harga yang relatif murah dan mudah digunakan, tetap saja isu target yang diutamakan dalam pengujian ini masih menjadi delik tersendiri disebabkan densitas dan jumlah penduduk Indonesia yang amat tinggi, walaupun pemerintah telah berkomitmen untuk mengadakan 500.000 paket rapid test. Beberapa ide mengenai target utama pengujian ini telah diusulkan oleh sejumlah ahli, beberapa beranggapan tenaga medis yang berjuang digarda terdepanlah yang menjadi target utama disebabkan probabilitas intouch CoV-2 yang tinggi. Namun, tetap saja perbaikan sistem penargetan rapid test haruslah dimaksimalkan untuk mencapai keefektifan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, penulis memfokuskan kajian pada ide perbaikan sistem deteksi dini COVID-19 di Indonesia terkhusus pada rapid test.

Secara patologis, virus CoV-2 menginisiasi adanya ledakan sitokin (Cytokine storm) pada sel hepatik manusia menyebabkan berlebihnya respon imunitas pada bagian tertentu didalam organ paru. Virus ini melepaskan beberapa respon kimiawi ‘pemanggil’ sel-sel imun seperti CCL2/MCP-1, CXCL10/IP-10, CCL3/MIP-1A dan CCL4/MIP-1B menyebabkan pembuluh darah penuh sesak dengan sel imunitas 2 yang pada akhirnya dapat menyerang sel sehat disekitarnya (layaknya autoimun). Reaksi apoptosis dan persinyalan jalur p53 turut diaktivasi sehingga menyebabkan lympophenia (rendahnya kadar leukosit dalam darah). Rendahnya komposisi sel CD4 dan CD8 pada darah juga terdeteksi pada pasien COVID-19 serta adanya deteksi kerusakan fungsi ginjal. Pelekatan spike virus CoV-2 pada ACE2 menyebabkan tingginya kadar angiotensin pada pembuluh darah yang mampu menyebabkan edema pada penderita COVID-19.

Secara patofisiologis, reaksi tertentu yang terjadi pada suatu bagian didalam tubuh amatlah terkait satu dengan yang lainnya (pengaruh sistemik). Hal ini menyebabkan adanya serangkaian abnormalitas yang terjadi pada tubuh manusia. Peningkatan protein (hormon, reseptor, dan sebagainya) tentusaja menyebabkan perubahan tertentu terutama pada sistem endokrin manusia. Regulasi kelenjar-kelenjar endokrin yang terinisiasi pada pasien COVID-19 baik pada tahap awal maupun rentan secara sistemik membuat perbedaan komposisi darah manusia yang juga secara sistemik amat berkaitan dengan pelepasan sejumlah molekul kimiawi seperti feromon dan senyawa aromatik dari kulit manusia. Abnormalitas tersebut tentunya akan berpengaruh pada komposisi mikrobiom pada bagian tertentu tubuh manusia sebab adanya perubahan tingkat faktor abiotik (pH, komposisi kimiawi, dll).

Umumnya variasi bau-bauan manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Mayoritas bau tersebut didapatkan dari berbagai zat hasil metabolisme. Bau tersebut umumnya dapat dideteksi dari beberapa bagian tubuh seperti mulut, daerah genital, kepala dan ketiak yang memiliki banyak kelenjar. Personalitas, orientasi seksual, pengaruh hormon, pola konsumsi, dan penyakit diketahui menjadi faktor dalam variasi bau tubuh manusia. Adanya abnormalitas sekresi hormon serta ketimpangan mikrobiom pada pengidap COVID-19 dinilai potensil menjadi faktor yang dapat dipertimbangkan pada perubahan bau tubuh pengidapnya. Serangkaian abnormalitas fisiologis ini dinilai berpotensi untuk dijadikan sebagai indikator dalam deteksi awal penderita COVID-19, baik melalui sensor pembau alamiah maupun dengan berbantu teknologi.

Secara alami beberapa hewan mampu menjadi sensor gas (yang berbau) tertentu seperti tikus tanah yang mendeteksi mangsa dengan indera pembaunya, kucing yang menandai wilayah dengan urinenya yang mengandung feromon, serta anjing yang digunakan dalam pencarian korban, deteksi narkoba, hingga deteksi bahan peledak. Pilihan lainnya ialah sensor gas berbantu teknologi seperti uji gas chromatography yang cenderung memerlukan biaya tinggi. Uji alamiah dinilai potensil saat ini disebabkan pelemahan ekonomi sebagai imbas pandemi CoV-2 telah menguras anggaran negara.

Anjing telah lama dimanfaatkan sebagai sensor pembau alamiah yang akurat. Berbagai uji biologis telah dilakukan ahli diseluruh dunia yang berujung pada kesimpulan efektif dan akuratnya sensor olfaktor kanin (pembau) dari anjing dibandingkan hewan lainnya. Hewan ini juga relatif mudah untuk dilatih 3 dibandingkan hewan dengan indera pembau yang kuat lainnya. Hal ini didasarkan pada beberapa fakta biologis terkait genom, fisiologi neural, dan respon koordinasi yang baik.

Melatih anjing agar mampu mendeteksi bau khas penderita COVID-19 dinilai mampu menjadi detektor dini bagi masyarakat yang telah terinfeksi walaupun gejala awal SARS CoV, MERS CoV, dan SARS CoV-2 cenderung sama. Pada tingkat lanjutnya, deteksi dini berbantu anjing diharapkan mampu menyeleksi masyarakat secara acak yang memiliki gejala infeksi dan nantinya akan mengefisienkan target-target utama yang mendapatkan rapid test dipenjuru negeri ini. Selain mampu meningkatkan efektifitas penargetan rapid test, juga diharapkan mampu mengefisienkan penggunaan anggaran negara dalam menyediakan perangkat-perangkat pendukung langkah preventif, baik pengadaan alat hingga kepada proses uji lapangan.

Sumber Rujukan:

PMID: 25265656
10.1021/acschemneuro.0c00122.
10.2139/ssrn.3 562504.
10.2353/ajpath.2007.061088
10.26355/eurrev_202003_20551.
10.1007/978-3-319-26932-0_50
10.1016/j.coi.2005.05.009
10.1128/JCM.00461-20
10.26355/eurrev_202002_20379.
10.1016/j.forsciint.2014.08.026
0.1016/j.cell.2020.02.058.
10.1016/j.cub.2020.03.022
10.1016/0300-9629(85)90260-9
10.1016/j.micinf.2020.03.002
PubMed: 8371085
10.1016/j.juro.2014.09.099
LihatTutupKomentar