Abstrak. Latihan kewarganegaraan saat ini dipahami sebagai tugas dan sebagai hak untuk dinikmati dalam konteks pendidikan apa pun. Di dalam sekolah, semua protagonisnya diundang untuk melakukan praktik kewarganegaraan. Tidak ada yang dikecualikan; bahkan pihak-pihak yang kurang penting memiliki hak untuk berpartisipasi dalam keputusan yang, karena alasan tertentu, dapat mempengaruhi kehidupan akademik mereka. Kewarganegaraan anak (siswa), dengan demikian, merupakan tantangan terhadap perubahan struktur politik, sosial dan pendidikan, transformasi institusi dan pembaruan budaya. Keberadaan hubungan yang harmonis antara komunitas pendidikan, sekolah, anak-anak dan keluarga tergantung pada kemampuan setiap orang untuk memahami dan berkomunikasi satu sama lain. Orang tua dan guru telah membuat komitmen untuk dialog yang bermanfaat dan serentak atas nama kualitas pendidikan. Dalam artikel ini, kami memulai dari analisis realitas sosial baru dan makna berbeda yang diberikan untuk pendidikan, untuk kemudian merefleksikan nilai-nilai pendidikan saat ini dan praktikpraktik yang konsisten dengan tujuan-tujuan tersebut. Kewarganegaraan baik autonomi maupun berdirinya merupakan konsep utama dimana komunitas pendidikan menemukan alasan untuk mewujudkan sekolah (pendidikan).
Resume:
Masyarakat saat ini dikarakterisasikan berdasarkan kebergunaannya dalam sosial. Hal tersebut menyebabkan adanya aturan sosial yang baru. Keluarga berperan penting dalam membentuk perilaku manusia yang diharapkan mampu menghadapi tantangan sosial tersebut. Peran keluarga telah mengalami beberapa transformasi seiring berjalannya waktu: (1) meningkatnya privasi; (2) berkurangnya anggota keluarga secara gradual; (3) reduksi fungsi anggota keluarga secara progresif; (4) persamaan peran sosial dalam jiwa anggotanya.
Perubahan dalam struktur sosial keluarga membawa dampak dalam bidang pendidikan. Beberapa latihan pendidikan informal tidak dapat terakomodir yang membawa dampak serupa pada perkembangan anggota (anak), perubahan dalam solidaritas keluarga (disebabkan perbedaan umur anggota keluarga), keterlibatan dalam tugas sekolah dan bahkan hingga kepada perwalian anak. Situasi tersebut menghambat beberapa nilai sosial dalam jiwa suatu keluarga yang berlanjut kepada fondasi fundamental suatu komunitas dan ada seorang individu.
Berubahnya perilaku sosial suatu keluarga sebagai wadah pendidikan into dalam membentuk seorang anak menjadi beban tersendiri bagi institusi pendidikan (formal) seperti sekolah. Dimensi pendidikan formal saat ini tidak hanya berperan dalam pedagogi melainkan sebagai kontrol sosial. Hal tersebut terjadi sebab adanya ekspektasi berlebih dari keluarga yang disebabkan berubahnya pola sosial keluarga tersebut. Dalam lanskap sosial saat ini, ada keluarga yang tidak lebih dari ilusi belaka dan semakin mengabaikan tanggung jawab mereka dengan mempertimbangkan melemahnya kemampuan bersosialisasi mereka.
Konsep dan perspektif baru tentang pendidikan di dunia Barat saat ini dihasilkan dari kesadaran akan hak warga negara. Partisipasi dapat diidentifikasi sebagai hak utama di bidang kewarganegaraan. Apa yang terjadi di ruang publik, dengan kehidupan orang-orang di komunitas, harus muncul dari tindakan bijaksana, yang dirancang oleh warga itu sendiri. Ini adalah realitas sosial baru; dengan demikian, seseorang tidak dapat terus memahami sekolah sebagai penyedia bantuan untuk keluarga yang menghadapi kesulitan dalam mengasumsikan fungsi pendidikan mereka mengenai anak-anak mereka, tetapi sebagai mitra aktif dalam pendidikan masyarakat yang dilayaninya.
Sekolah, saat ini, merupakan persimpangan budaya sosial, etnis, dan agama. Rasa hormat dan penghargaan terhadap keragaman adalah pengayaan bagi sekolah dalam dimensi yang berbeda. Sekolah saat ini dipanggil untuk menampung anak-anak keluarga yang datang, berusaha untuk menjadi tuan rumah mereka, untuk membantu mereka dalam belajar, dan untuk mengintegrasikan mereka dalam komunitas pendidikan. Sekolah juga berupaya memainkan peran penting dalam mempersiapkan semua anak untuk pendidikan untuk keberagaman.
Tahun: 2012
DOI: 10.3390/educsci2020105